Jalur Sepeda Membongkar Kualitas Pejabat

Sungguh mengejutkan kabar adanya wacana untuk membongkar jalur sepeda, dan lebih mengejutkan lagi ketika wacana itu datang dari dua pejabat tinggi negara: seorang anggota DPR dan Kepala Kepolisian Negara.

Memprihatinkan betapa sebagai pejabat negara tidak memahami pentingnya keberadaan jalur sepeda bagi masyarakat terutama di masa kini, di mana dunia di sekitar kita sedang gencar-gencarnya membuat jaringan jalur sepeda, bahkan Paris dalam dua tahun terakhir ini sudah berubah nyaris menjadi kota sepeda.

Seorang pejabat negara seharusnya memahami bahwa keberadaan jalur sepeda tidak muncul begitu saja, melainkan sudah melalui proses panjang yang mengacu pada perintah Undang-Undang Negara dan melalui prosedur birokrasi. Dan patut juga dipahami bahwa keberadaan jalur sepeda yang sekarang ini juga merupakan hasil perjuangan keras para insan sepeda dan pemerhati lingkungan selama belasan tahun.

Dan semakin prihatin lagi ketika menyadari bagaimana ide membongkar jalur sepeda itu muncul setelah adanya protes dari komunitas sepeda atas penggunaan jalan raya non tol untuk sepeda dan hanya untuk jenis sepeda tertentu saja. Sementara anggota DPR tersebut adalah seorang pesepeda jenis tertentu, dan Kapolri adalah Ketua Umum Ikatan Sports Sepeda Indonesia.

Barulah kita bisa memahami kejanggalan yang mencolok mata, bagaimana mungkin urusan jalur sepeda dilaporkan kepada Kapolri dalam rapat Negara dan Kapolri pun menyetujui untuk membongkar jalur sepeda. Padahal tanpa menengok ke Undang-Undang, kita pun bisa mengerti bahwa jalur sepeda merupakan urusan Kementerian Perhubungan dan Kepala Daerah.

Adapun tugas Kepolisian menurut Undang-Undang no.2 tahun 2002:

Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.

Sedangkan tugas DPR yang berkaitan dengan rakyat hanya satu kalimat: Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.

Sumber foto: WTOP

Mitigasi Bencana Listrik Padam

Padamnya listrik di Minggu, 4 Agustus 2019, tidak diderita Jakarta saja, melainkan juga di wilayah sekitar Banten dan Jawa Barat, bahkan terdeteksi di Jawa Tengah dan Bali beberapa menit sebelum Jakarta padam.

Tentu saja ada jutaan manusia terdampak dengan ketidaksiapan PLN. Jutaan kisah yang sebagian diceritakan di Kompas Magapolitan. Jutaan sumpah serapah terlontar ketika durasi pemadaman melewati batas toleransi.

Ada sebagian yang berusaha mengajak netizen memahami kesulitan PLN, salah satunya dengan mengunggah foto yang menunjukkan betapa pekerjaan mereka itu luarbiasa berbahaya. Sayang upaya mengajak berempati itu bernoda dan semakin menaikkan emosi netizen ketika diketahui bahwa yang diunggah bukanlah foto para pekerja PLN melainkan dari Thailand.

Continue reading Mitigasi Bencana Listrik Padam

Akar-rumput akan membasmi politik uang.

Sebelum melangkah, kita perlu ketahu istilah kiri dan kanan dalam dunia politik. Jika kita telusuri Wikipedia, spektrum dalam dunia politik yang berbasis persamaan hak digolongkan ke dalam sayap kiri, sedangkan sayap kanan merupakan spektrum dari pandangan akan pentingnya perbedaan kelas dalam masyarakat, hierarki sosial.

Sisi paling ekstrim dari sayap kanan berbentuk fasisme, sedangkan di ekstrim kiri ada komunisme. Dari sini kita bisa faham mengapa di Indonesia pihak yang condong ke kiri akan diserang dan dituduh beraliran komunis. Masyarakat pun ditakut-takuti dengan hantu komunisme, bahaya laten komunis, yang belum tentu bisa dibuktikan, yang justru mengindikasikan dimanfaatkannya ketakutan itu sebagai perisai pelindung kesenjangan sosial.

Continue reading Akar-rumput akan membasmi politik uang.

Play Me, I’m Yours

Sudah sepuluh tahun ini Luke Jerram membawa instalasi “Play Me, I’m Yours” berkeliling dunia. Bermula pada 2008 di Birmingham, Inggris, 15 piano ditempatkan di berbagai lokasi umum seperti stasiun, taman, mall dsb selama 2-3 minggu.
Seusai acara, piano-piano tersebut dihadiahkan ke sekolah-sekolah atau komunitas di area sekitar.

Idenya muncul saat ia menunggu cucian di sebuah laundry beberapa akhir pekan. Ia mengamati bahwa setiap minggu datang orang-orang yang sama, tapi tak ada yang ngobrol. Dan tiba-tiba ia pun tersadar bahwa:
“Di dalam sebuah kota pasti ada ratusan invisible communities, komunitas yang tak terlihat, secara reguler mereka bersama menghabiskan waktu dalam kebisuan. Dengan menempatkan piano di ruang kebisuan, ia menjadi solusi masalah, berperan sebagai pemicu percakapan dan membawa dinamika dalam ruang publik. Ada beberapa perkawinan terwujud berkat proyek ini.”

Continue reading Play Me, I’m Yours

Antara Turah, Laskar Pelangi dan Endgame.

Sebuah berita bagus menghentak kebosanan pada kegaduhan politik:
Film Turah akan berangkat mewakili Indonesia menuju Piala Oscar 2018.

Turah mengangkat kehidupan desa Tirang di wilayah Tegal yang masih belum bisa menikmati air bersih dan listrik. Mengenai sebab terpilihnya film ini, Christine Hakim menyatakan: “Kekuatannya, kejujuran, dan kesederhanaannya, dari segi tematik dan penggarapannya. Pesannya kuat, di antara kemunafikan kehidupan. Gantung diri sebagai kekalahan, menjadi cermin untuk kita semua.”
Sementara Wicaksono Wisnu Legowo, sang sutradara, terkesan dengan dampak filmnya yang membuat banyak orang menjadikan desa Tirang sebagai tujuan wisata: “Jadi ada suasana baru, beberapa kali banyak yang datang ke Tirang. Saya merasa seperti membuat Laskar Pelangi, bahwa film itu impact-nya ke sana.”

Continue reading Antara Turah, Laskar Pelangi dan Endgame.

Salah kaprah dalam reaksi pencurian budaya

Kekayaan budaya kita begitu berlimpah namun sedikit sekali yang kita kenal, kita mengenalnya pun berkat upaya orang luar Indonesia yang tertarik untuk mempelajari atau menikmatinya.
Adalah manusiawi jika kita lupa atau tidak memperhatikan akan apa yang kita miliki, kebanyakan kita lebih memperhatikan apa yang dimiliki orang lain, bahkan ingin memilikinya juga.

Banyak contohnya, di musik ada budaya jazz, di senitari ada balet, senilukis ada pop art dsb… terlalu banyak untuk dirinci. Tentu kita tidak merasa mencuri budaya orang lain bukan? Dan juga tidak ada yang merasa kecolongan atau menuduh kita mencuri budaya mereka.

Jika reog berkembang di Malaysia dan sebagian orang Malaysia menganggapnya sebagai budaya mereka, itu bukanlah kasus pencurian. Orang Malaysia yang mengira itu adalah budaya mereka barangkali karena sejak lahir mereka sudah mengenal dan bergaul dengan reog di komunitasnya, dan tiba-tiba melihat di televisi kok ada reog juga di Ponorogo. Orang lain lalu memanfaatkan ini untuk memancing emosi dan mempermalukan bangsa kita.

Continue reading Salah kaprah dalam reaksi pencurian budaya

Puisi di sebuah Ruang Keluarga

Photo by Zen RS
Photo by Zen RS

Sebuah cerita yang mirip anekdot dikisahkan Reda Gaudiamo beberapa saat sebelum ia dan pasangannya, Ari Malibu, melantunkan musikalisasi puisi “Aku Ingin” karya Sapardi.

“Sepasang pengantin yang memilih puisi ini dalam undangan pernikahahannya menganggap sajak “Aku Ingin” sebagai karya Kahlil Gibran. Saya bilang padanya bahwa itu sajak Sapardi. Tapi dia tak percaya. Katanya, gak mungkin sajak puisi sebagus ini ditulis orang Indonesia.”

Para penonton yang menyesaki pertunjukan musikalisasi puisi di Newseum Cafe tergelak ramai-ramai. Tapi Reda belum menyelesaikan kisahnya.

Continue reading Puisi di sebuah Ruang Keluarga

Dini Hari di Kota Tua….

Foto: Zen RS

Jalanan masih amat lengang. Tengah malam sudah lama lewat, sementara subuh masih jauh.

Saya berdiri tepat di depan Museum Bank Mandiri. Di sebelahnya berdiri Museum Bank Indonesia dan di sebelahnya lagi berderet-deret bangunan-bangunan tua, terus tembus hingga ke Taman Fatahillah. Di seberang tempat saya berdiri, Stasiun Beos terlihat jelas dengan muka bagian atapnya yang membentuk setengah lingkaran.

Lalu hal sama kembali terulang: bangunan-bangunan tua itu seperti lebih jujur mengatakan usia yang sebenarnya…. Selalu begitu. Di mana pun. Tidak hanya di Malioboro dan Kota Baru di Jogja, Jl. Braga dan Jl. Asia Afrika di Bandung, Tulangan di Surabaya, Besuki di Banyuwangi, kawasan Panjunan atau Pelabuhan Cirebon hingga Kota Lama atau Pasar Johar di Semarang. Bangunan-bangunan tua di semua titik-titik itu terasa lebih jujur mengutarakan usia yang sebenarnya pada titimangsa dini hari macam ini.

Continue reading Dini Hari di Kota Tua….

Antara Minat Baca dan Sinetron

Semalam, 2 Desember, di Newseum Cafe diselenggarakan diskusi mengenai Budaya Tulisan, Pers dan terbentuknya suatu Bangsa, dalam rangka menyambut Hari Pers Kebangsaan.
Hadir sebagai narasumber adalah Sirtjo Koolhof, dari Radio Nederland Wereldomroep. Ia pemimpin redaksi Indonesia, juga pustakawan KITLV Belanda yang fasih berbahasa Indonesia —bahkan juga bahasa Jawa dan bahasa Bugis.

Banyak hal menarik diungkap Sirtjo yang mungkin luput dari pengamatan kita. Salah satunya ketika menjawab pertanyaan tentang kurangnya minat baca orang Indonesia.
Menurut Sirtjo, selain tradisi lisan yang sangat kuat mengakar di masyarakat Indonesia, faktor hubungan sosial ternyata juga banyak berpengaruh.
Orang Eropa umumnya sangat individual, lebih suka melakukan segalanya sendiri karena berbagai alasan. Misalnya keberadaan orang lain akan menyulitkan untuk fokus pada pekerjaannya, atau karena enggan mengambil waktu orang lain demi kepentingan diri sendiri, dll. Karena itu umumnya orang Eropa lebih suka belanja sendiri, ke toko buku sendiri, bahkan ke bioskop sendirian.

Continue reading Antara Minat Baca dan Sinetron