Mitigasi Bencana Listrik Padam

Padamnya listrik di Minggu, 4 Agustus 2019, tidak diderita Jakarta saja, melainkan juga di wilayah sekitar Banten dan Jawa Barat, bahkan terdeteksi di Jawa Tengah dan Bali beberapa menit sebelum Jakarta padam.

Tentu saja ada jutaan manusia terdampak dengan ketidaksiapan PLN. Jutaan kisah yang sebagian diceritakan di Kompas Magapolitan. Jutaan sumpah serapah terlontar ketika durasi pemadaman melewati batas toleransi.

Ada sebagian yang berusaha mengajak netizen memahami kesulitan PLN, salah satunya dengan mengunggah foto yang menunjukkan betapa pekerjaan mereka itu luarbiasa berbahaya. Sayang upaya mengajak berempati itu bernoda dan semakin menaikkan emosi netizen ketika diketahui bahwa yang diunggah bukanlah foto para pekerja PLN melainkan dari Thailand.

Terlepas dari segala hiruk pikuk kekacauan yang dialami oleh masyarakat, yang tidak kalah pentingnya adalah apa yang diungkap Presiden Joko Widodo kepada Sripeni Inten Cahyani, Plt Direktur Utama PLN : “Pertanyaan saya kenapa itu tidak bekerja dengan cepat dan dengan baik,” yang menyasar pada manajemen resiko, contigency plan beserta back up plan-nya.

PLN yang menangani berbagai jenis pembangkit tenaga listrik tentunya sudah mengenal beberapa macam manajemen resiko, bahkan mungkin juga yang berkaitan dengan tenaga nuklir. Karenanya respon PLN yang begitu lamban memang perlu dipertanyakan.

Kita tidak perlu membahas urusan manajemen internal PLN. Ada urusan yang lebih masif, yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat di lapangan, dari bayi hingga kakek-nenek: kesiapan kita dalam menghadapi bencana listrik padam. Istilah bahasa Inggrisnya: Disaster Planning For Unexpected Power Outages & Blackouts.

Setiap komunitas yang memiliki ketergantungan pada keberadaan listrik harus memiliki contigency plan seperti halnya untuk bencana alam. Setiap keluarga seharusnya sudah paham jika tidak ada listrik dan komunikasi, bagaimana caranya dan ke mana harus pergi atau menghubungi, di titik mana bisa berkumpul kembali, dan lain-lain.

Dari berbagai kisah yang dialami masyarakat selama 7-12 jam tersandera oleh ketiadaan listrik, kita sadari bahwa kita menjadi lumpuh. Komunikasi yang begitu penting untuk mengatasi kesulitan justru sangat tergantung pada listrik. Kehabisan daya batere atau kehilangan sinyal jaringan. Kehilangan sinyal masih bisa diatasi dengan menggunakan berbagai Emergency Communication Application yang bisa diunduh dari Google Play atau Apple Store.

Ribuan orang terperangkap di MRT, di KRL. Ribuan lagi tidak bisa diperkenankan meninggalkan stasiun karena tidak bekerjanya berbagai peralatan. Di jalur commuter ada beberapa KRL terhenti jauh di luar stasiun masing-masing dengan ribuan masalah berbeda. Itu pentingnya contigency plan. Sangatlah diapresiasi kesiapan MRT dalam menangani situasi darurat.

Selain komunikasi dan transportasi umum, kelumpuhan transaksi elektronik pun menjadi persoalan serius yang perlu diantisipasi. Kelangkaan air dan makanan akan segera menimpa semua yang tergantung pada transaksi elektronik begitu sisa uang tunai habis dibelanjakan.

Informasi resmi menjadi sangat krusial di situasi kelumpuhan dan kepanikan. Ketika komunikasi digital terhambat, maka akses untuk mendapatkan dan memberikan informasi bisa dilakukan secara analog. Peralatan komunikasi radio agaknya wajib tersedia di setiap komunitas. Beberapa aplikasi digital, seperti Zelo,  bisa berperilaku sebagai walkie-talkie.

Semoga saja disadari oleh para pemangku kepentingan, bahwa sudah saatnya memikirkan mitigasi bencana Blackout. Kecepatan perkembangan teknologi selalu melebihi kecepatan kita dalam menyusun strategi.

prepare-for-blackouts-pin
http://www.thesurvivalistblog.net

Published by

bataviase

Bataviase Nouvelles adalah kelanjutan koran pertama di Indonesia, yang terbit pertama kali 8 Agustus 1744. Diterbitkan kembali sejak 9 September 2006, sebagai koran bulanan, menyajikan informasi agenda pilihan dari pilihan warga Jakarta.

Leave a comment