Kring kring kring ada sepeda

Hari ini banyak keprihatinan. Dari ulah DPR – DPRD (menyerobot jalur busway, kasus slankers, suap, selingkuh, timbunan senjata), ribut partai dan calon partai hingga gembok celana. Pasti sudah banyak komentar.
Tulisan ini tidak ke sana, hanya ungkapan kekecewaan atas keputusan Pemerintah untuk membangun lagi jalan tol-dalam-kota.

Disebut-sebut bahwa setiap hari beraktivitas di Jakarta asekitar 3.500.000 kendaraan bermotor. Dalam kemacetan, kendaraan rodaempat menghabiskan sekitar 5 liter BBM, sedangkan rodadua 1 liter. Misal dari 3,5juta itu dua juta rodaempat dan 1,5 juta rodadua, maka kendaraan Jakarta menghabiskan 2×5 + 1,5×2 = 13 juta liter BBM. Setiap hari…

Misal lagi, 1/3 dari mereka beralih ke sepeda, maka kita akan menghemat lebih 4 juta liter BBM. Setiap hari…
Belum dihitung penghematan yang dicapai oleh duapertiga pengendara sisanya, karena untuk setiap pengurangan kemacetan ada pengurangan pemborosan bahanbakar.

Ada kelebihan lain dari sepeda, karena tidak menggunakan bahan bakar, maka sepeda tidak mengemisikan gas beracun dan gas yang mengakibatkan pemanasan global. Polusi berkurang, kita menghirup udara yang agak lebih bersih.
Maka sepeda memberi kontribusi pada kesehatan kota dan individu. Ini dipertegas lagi dengan manfaat dari pergerakan tubuh, olahraga.

Ketiga kelebihan yang tak terbantahkan itu disebut oleh Presiden saat mengantar rombongan Bicycle for Earth Goes to Bali pada 11 November 2007.

Kelebihan lainnya lagi: siapa saja —kaya miskin, pria wanita, tua muda— bisa bersepeda. Tersedia beragam jenis sepeda untuk semua, dari harga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Buat yang kuatir, jika bersepeda digolongkan sebagai orang tak mampu, gunakan saja sepeda yang harganya 30juta. Terlalu mahal? Coba di pasar Rumput. Bukan, bukan untuk membeli rumput untuk bahanbakar kuda tunggangan. Tapi di sana ada ratusan, bahkan bisa jadi ada seribu-duaribu sepeda bekas, jika mujur bisa dapat sepeda murah dengan kondisi 90% baru.

Jelas sekali bahwa potensi jumlah pengguna moda transportasi ini jauh lebih banyak —hanya dikalahkan oleh transportasi publik. Akan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemacetan, polusi, dan penghematan bahanbakar.

Satu kelebihan lagi: kita akan lebih banyak menemui wajah-wajah ceria, akan sering tercipta interaksi ramah antar sesama pengendara sepeda. Sangat beda dengan sering munculnya umpatan dan stress antar para pengndara bermotor. Bisa jadi, kumpulan massa yang umumnya cenderung beringas bisa teredukasi dan mulai menikmati keceriaan bersama.

Alasan-alasan ini sebetulnya sudah lebih dari cukup bagi Pemerintah, Parlemen, Lembaga Swadaya, untuk bersepakat mendorong warga Jakarta menggunakan sepeda. Presiden pun sudah meminta agar setiap Pemerintah Daerah menyiapkan ruang untuk bersepeda. Sementara Gubernur di hari yang sama menyatakan (semoga hanya gurauan) akan membangun jalur sepeda jika ada sejuta pesepeda di Jakarta.

Seandainya ada yang melakukan survey di Jakarta, apa yang membuat orang enggan bersepeda, dapat dipastikan alasan utamanya adalah: kuatir tersenggol kendaraan bermotor.
Perilaku pengendara bermotor di Jakarta terhadap pejalan kaki saja mengerikan. Semakin hari semakin jarang yang mau menghentikan kendaraan jika ada yang ingin menyeberang, bahkan banyak yang justru mempercepat kendaraannya. Bagi pesepeda hal ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi.

Dari sudut perilaku berlalulintas ini, sepeda sebenarnya bisa memberi manfaat yang self-educating. Mereka yang sering bersepeda akan jauh lebih manusiawi saat mengemudikan kendaraan bermotor. Pengalaman bersepeda yang akan mengedukasinya. Apalagi jika disosialisasikan mengenai pentingnya memberi prioritas pada pejalan kaki dan pengendara sepeda.

Siapa yang takkan tergoda untuk menyimpan kendaraan bermotornya, dan memutuskan untuk bersepeda jika di Jakarta tersedia :

• jalan yang bisa dilalui sepeda dengan aman;
• jaringan bikeway yang terintegrasi dengan jaringan busway
• tempat penitipan sepeda di halte/stasiun;
• ruang/rak sepeda di bus/kereta;
• fasilitas parkir sepeda di banyak tempat;
• dan segala kemudahan lainnya, termasuk regulasi dan perlindungan hukum.

Menunggu sejuta pengendara sepeda lebih dulu baru kemudian menyediakan sarananya, sebetulnya merupakan penolakan. Seorang anggota komunitas Bike2Work begitu kecewa: “ibarat kolam, nunggu ikannya banyak baru di kasih air. Analoginya jangan kebalik dong, kasih jalannya dulu baru nanti bikersnya pada nongol… mau sejuta, dua juta bahkan puluhan juta…. “

Fakta di Bogota membenarkan: sebelum ada jalur sepeda, kehadiran pesepeda tidak terasakan. Kini di setiap acara ciclovia, 1,5 juta orang tumpah ke jalan, sebagian besar bersepeda. Diperkirakan 4 juta dari 7 juta penduduk Bogota bersepeda dalam waktu yang berbeda.

Lalu kenapa dari empat proyek bagus dan besar di Jakarta (TPA, BKT, listrik, air limbah) ada sisipan pembangunan jalan tol-dalam-kota? Barangkali untuk mengamankan proyek busway —yang diobok-obok (apa kabar Joshua?) kalangan industri otomotif, ya.

Adakah yang mengkaji, jika biaya yang sama digunakan untuk membangun infrastruktur sepeda —terintegrasi dengan jaringan busway dan KRL: bagaimanakah proyeksi tingkat kemacetan, besarnya penghematan, jumlah carbon yang bisa dijual, seberapa tinggi kualitas hidup (moral) dan sebagainya.

Saya yakin, jika proyeksinya disandingkan dengan jalan tol-dalam-kota, sepeda akan menang di segala aspek.
Memprihatinkan jika mereka yang memiliki akses ternyata kurang memiliki visi ke depan, atau punya tapi hanya diam membiarkan, atau malah mengambil keuntungan pribadi? Atau cara saya memandang yang salah?

Published by

bataviase

Bataviase Nouvelles adalah kelanjutan koran pertama di Indonesia, yang terbit pertama kali 8 Agustus 1744. Diterbitkan kembali sejak 9 September 2006, sebagai koran bulanan, menyajikan informasi agenda pilihan dari pilihan warga Jakarta.

Leave a comment