Saat mewarisi jabatan, lebih separuh kota terdiri dari pemukiman ilegal dan kumuh. Mobil parkir sembarangan. Fungsi trotoar diambil alih oleh kendaraan. Jalan-jalan di pinggir kota tidak memiliki trotoar, di sana 20% dari 7 juta penduduknya tinggal. Komentar yang sering ia dengar saat berkampanye: Tempat ini begitu kacau. Tidak akan ada yang mampu membereskannya.”
Enrique Peñalosa [enrike penyalosa] hanya dalam tiga tahun berhasil menatanya sehingga menjadi model bagi kota lain. Mendidik penduduknya hingga memiliki kepedulian dan sense of belonging, bahkan menumbuhkan rasa kebanggaan. Sistem transportasinya pun menjadi model bagi Jakarta.
Bagaimana sepak terjangnya?
Resep pertama: making a city that would show RESPECT for human dignity. Mengembangkan kota yang menunjukkan penghormatan pada hargadiri manusia. Suatu pendekatan yang amat luarbiasa. Teramat langka di Jakarta.
Lanjutnya: Masyarakat berubah karena mereka melihat KELAHIRAN sebuah kota yang belum pernah terbayangkan sekali pun dalam mimpi: sebuah kota dimana anak-anak lebih penting daripada mobil. Sebuah kota untuk manusia.
Resep kedua: Prioritizing the poor. Mengutamakan kaum papa.
Bedanya dengan Jakarta, ini bukan hanya retorika atau pun dilaksanakan secara tambal sulam. Menurut Enrieque: “cara kita mengembangkan kota dan mengatur kehidupan kota bisa menjadi alat luarbiasa untuk membangun masyarakat yang lebih egaliter dan terintegrasi.”
Apa saja yang bisa ia lakukan untuk kaum miskin dalam tiga tahun?
Ia melegalisir dan memindahkan pemukiman ilegal (warna merah dalam peta) dan kumuh, digantinya dengan perumahan layak huni. Dilengkapi sebuah pabrik besar untuk penyaluran air bersih, ribuan taman, seratus taman balita, duaratus sekolah, 11 perpustakaan, 3 perpustakaan besar dilengkapi komputer dan internet, serta transportasi massal hingga ke pusat kota (TransMilenio yang tersohor itu).
Pendapatnya: “di zaman pertengahan, bangunan tidak hanya fungsional. Ia juga merupakan simbol. Taman asuh, sekolah, dan perpustakaan dengan arsitektur indah di tengah-tengah kaum papa merupakan pesan yang jelas bahwa anak-anak dan pendidikan sangatlah penting.”
Enrique benar-benar berpihak pada kaum miskin: “di mal-mal mewah, kaum miskin merasa bagaikan orang asing dan sangat tidak-welcome. Tetapi di perpustakaan publik mereka merasa dihargai dan sangat welcome. Mereka bisa mengakses perpustakaan mewah semacam itu bukan karena kekayaan atau pendidikan, tapi sederhana saja: karena mereka adalah wargakota.”
Ia juga memilih sekitar limaratus proyek yang diinisiasi oleh komunitas dan perorangan. Ia kontrak dan kembangkan atas nama Pemda. Kalau di Jakarta ada taman-taman bacaan, sekolah gratisnya Ade Pudjiastuti, perpustakaan tunanetra, pengolahan limbah rumah dan banyak lagi yang patut mendapat dukungan pemerintah.
Ia dirikan Metrovivienda sebuah institusi Urban Land Reform, berfungsi sebagai bank tanah yang membangun perumahan kaum papa berkualitas urbanisme tinggi, bekerjasama dengan swasta.
Tentang transportasi ia menceritakan: di Balai kota saat baru menjabat, ia disodori studi kelayakan transportasi hasil konsultasi dengan Jepang, yang menyarankan pembangunan jalan toll bertingkat senilai $600 juta. Tapi ia punya ide lain, mengadopsi sistem BRT Curitiba dan mengembangkan TransMilenio. Sistem BRT yang mengangkut 700,000 orang per hari hanya dengan biaya $300 juta. Dan membangun pedestrian, taman, plaza, jalur sepeda dan menyingkirkan reklame dari jalan-jalan.
Alasannya: “We constructed the longest pedestrian-only street in the world. It may seem crazy, because this street goes through some of the poorest neighborhoods in Bogotá, and many of the surrounding streets aren’t even paved. But we chose not to improve the streets for the sake of cars, but instead to have wonderful spaces for pedestrians. All this pedestrian infrastructure shows respect for human dignity. We’re telling people, “You are important—not because you’re rich or because you have a Ph.D., but because you are human.” If people are treated as special, as sacred even, they behave that way. This creates a different kind of society.”
Betapa kontrasnya pemikiran ini dengan praktek di Indonesia. Simak perlakuan saat penggusuran atau pembersihan pedagang kakilima.
Menurutnya, transportasi publik adalah isu politik, bukan tehnis. Aspek tehnisnya sangat sederhana. Yang sulit adalah keputusannya, berkaitan dengan: siapa yang mendapat manfaat dari model yang diadopsi.
Jakarta gampang-gampang saja atau menggampangkan —entah kapan bisa selesai 2010, 2050, 2100, jelas tidak bisa dalam 3 tahun— monorail, railway, busway, subway, waterway semua diadopsi, bahkan deep tunnel juga. Tapi kok bikeway diabaikan?
Mohon maaf. Saya pun kagum dengan erik penalosa (ejaan sendirilah biar enak), itu baru namanya walikota (belum gubernur tuh) inovatif dan (satu hal yang tidak dipunyai oleh pejabat di republik kita) pemberani (diantaranya berani tidak populer dan dicopot jabatan). Tapi nyatanya? Berhasil.
Saya bukan ngagogoreng pejabat kita sendiri. Saat melihat bagaimana kota Bogota menjadi nyaman, pejabat kita hanya satu saja tujuannya, pergi kesana, jalan-jalan dan “studi banding” (istilah yang bikin muak dan muntah).
Selesai.
Jadi? Jangan harap Jakarta akan seperti itu. Berharaplah generasi tua sekarang pubah dulu dan bisa terganti dengan generasi muda yang menyayangi negerinya.
Baru mungkin itu akan terjadi.
Terima kasih.
LikeLike
Jakarta….
beginilah dulu…sekarang …dan akan datang (?)
LikeLike
Kota Depok ingin mencontoh hal itu… bisakah??? where do we have to start?
LikeLike