Puisi di sebuah Ruang Keluarga

Photo by Zen RS
Photo by Zen RS

Sebuah cerita yang mirip anekdot dikisahkan Reda Gaudiamo beberapa saat sebelum ia dan pasangannya, Ari Malibu, melantunkan musikalisasi puisi “Aku Ingin” karya Sapardi.

“Sepasang pengantin yang memilih puisi ini dalam undangan pernikahahannya menganggap sajak “Aku Ingin” sebagai karya Kahlil Gibran. Saya bilang padanya bahwa itu sajak Sapardi. Tapi dia tak percaya. Katanya, gak mungkin sajak puisi sebagus ini ditulis orang Indonesia.”

Para penonton yang menyesaki pertunjukan musikalisasi puisi di Newseum Cafe tergelak ramai-ramai. Tapi Reda belum menyelesaikan kisahnya.

Setelah gelak tawa mereda, ia menutup kisah yang ia alami langsung itu: “Akhirnya, pasangan pengantin itu mencetak puisi ‘Aku Ingin’ di undangannya… tetap keukeuh dengan menyebutnya sebagai karya Kahlil Gibran.”
Saya tersenyum. Para penonton kembali tergelak-gelak, kali ini lebih kuat. Ruangan Newseum Cafe yang sesak oleh penonton terasa berdentam. Lalu, Ari mulai memetik gitarnya perlahan. Sejurus kemudian, para penonton bersorak, beberapa di antaranya bersuit-suit. Sepertinya ini lagu yang paling ditunggu….

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Para penonton yang hadir ikut bernyanyi. Tidak laki, tidak perempuan. Tidak muda, tidak tua —kendati mayoritas yang hadir memang banyak yang sudah berkeluarga. Beberapa ibu-ibu datang bersama anaknya. Di panggung sebelah kiri, seorang ibu terlihat menidurkan anaknya yang masih kecil. Di belakang, bapak-bapak berdiri di baris paling ujung, sebagian duduk di dekat meja bar.

Bukan hanya Sapardi yang malam itu sajak-sajaknya dinyanyikan. Ada juga puisi Abdul Hadi WM, Toto Sudarto, dan puisi beberapa penyair yang lain. Semuanya dilantunkan dengan manis oleh Reda Gaudiamo dengan alunan suara gitar yang dipetik Ari Malibu. Kebanyakan gitar dibawakan dengan petikan, sehingga lebih sering terdengar denting daripada cabikan. Terasa pas dengan puisi-puisi Sapardi yang memang sering menggunakan bahasa yang sederhana, kendati seringkali punya metafora yang berlapis.

Malam itu, puisi hadir sebagai bagian sebuah “keluarga”. Keluarga di sini bukan hanya merujuk pada penonton yang rata-rata sudah berkeluarga, tapi sepanjang konser terasa benar betapa Ari-Reda dan para penonton yang hadir sudah menjalin hubungan yang lama dan intim. Banyak di antara mereka yang disebutkan satu per satu namanya oleh Reda tiap kali hendak menyanyikan sebuah puisi, kadang disebutkan bahwa puisi ini sengaja dinyanyikan karena seseorang telah memesannya melalui sms. Dari Maria Andriana, redaktur senior Antara, saya tahu bahwa banyak di antara mereka sudah saling mengenal sedari jaman kuliah.

Suasana kekeluargaan terasa komplit sewaktu Boni, seorang anak perempuan lincah dan cerdas berusia enam tahun, membacakan di luar kepala puisi karangan ayahnya sendiri selama 15 menit. Sewaktu Boni kelar membacakan puisi, seisi cafe kembali bersorak dan bertempik —dalam pendengaran saya terasa seperti sorak para orang tua yang menyaksikan pentas anaknya.

Photo by Zen RS
Photo by Zen RS

Puisi, sekali lagi, malam itu terasa sebagai bagian sebuah keluarga. Ia hidup dengan hangat di ruang tamu, ruang keluarga dan kamar-kamar tidur. Seperti dibacakan dalam sebuah reuni. Semuanya terasa bahagia, hangat, dan juga puas. Puisi benar-benar seperti coklat, mungkin juga kue tart —atau apalah anda menyebut segala sesuatu yang manis lagi menyenangkan. Puisi tak hadir sebagai sesosok mahluk yang menganggu, nyawa yang melata di malam-malam penuh kepulan asap, vodka dan racauan kasar para bohemian.
Tentu tak ada yang salah dengan itu, karena puisi tak harus tampil serius, tak mesti hadir untuk dipikirkan dengan kening berkerut. Setiap orang boleh dan bisa memperlakukan puisi sekebutuhan dirinya masing-masing. Juga mungkin tak diperlukan semacam “makelar makna”, para kritikus dengan pedang penilaian yang berkilat-kilat.

Nikmati sajalah puisi. Sembari berdendang dan menggoyangkan kaki, selaykanya mendengar sebuah nomer lagu, tentunya. Ya, karena ini memang musikalisasi puisi, bukan diskusi tentang puisi. [Zen RS]

Published by

bataviase

Bataviase Nouvelles adalah kelanjutan koran pertama di Indonesia, yang terbit pertama kali 8 Agustus 1744. Diterbitkan kembali sejak 9 September 2006, sebagai koran bulanan, menyajikan informasi agenda pilihan dari pilihan warga Jakarta.

6 thoughts on “Puisi di sebuah Ruang Keluarga”

Leave a reply to nardi Cancel reply