Kisah Panon Hideung

Panon Hideung, “lagu rakyat Sunda”, lumayan populer di dunia. Tampil asli di film Eastern Promises karya David Cronenberg (2007)), dibawakan gitaris Django Reinhardt (2005) dalam aransemen jazz, atau dalam dentingan bouzouki yang begitu memukau dipetik pakarnya, John Stamatiou Sporos, dan banyak lagi.

Panon hideung pipi koneng [Mata hitam pipi kuning]
Irung mancung Putri Bandung [Hidung mancung putri Bandung]
Putri saha di mana bumina [Anak siapa di mana rumahnya]
Abbi reseup kaanjeunna [Aku suka padanya]
Siang wengi kaimpi-impi [Siang malam terimpi-impi]
Hate abdi sara redih [Hatiku merasa sedih]
Teuemut dahar [Lupa makan]
Teuemut nginum [Lupa minum]
Emut kanu geulis [Ingat pada si cantik]
Panon Hideung [Mata hitam]

Ismail Marzuki, komposer nasional asal Betawi, menulis lirik di atas sekitar tahun 1936-1937. Pada masa itu Ma’ing —begitu ia dipanggil— dan orkesnya, diminta mengisi acara radio di Bandung di segmen lagu-lagu Barat.

Itulah masa-masa saat ia mempelajari dan menguasai komposisi lagu-lagu barat dan lagu tradisional. Banyak lagu Barat yang digubah dan diterjemahkan. Salah satunya adalah Ochi Chyornye (Mata Hitam – Panon Hideung), berkat bantuan Zarkov, seniman asal Rusia yang tinggal di Bandung.
Sebagai informasi, jaman dulu memang banyak seniman asal Rusia berkarya di sini, ada orkes asal Rusia yang tampil reguler di Hotel Des Indes selama 10 tahun, atau di Surabaya ada Pedro (atau Pyotr=Peter), sang pendiri teater Dardanella yang legendaris.

Saat itu, Ma’ing berjumpa dan jatuh cinta pada mojang Parahiayangan yang sangat cantik —sesuai dengan fotonya di bawah ini— Miss Eulis.

Miss Eulis adalah bintang radio, penyanyi kroncong berdarah Sunda dan Arab. Tampaknya Miss Eulis memang bermata indah, hidung mancung dan berkulit kuning langsat. Ochi Chyornye pun digubah Ma’ing sesuai dengan suasana hatinya saat itu.

Hati wanita mana yang tak luluh. Ma’ing pun berhasil menikahi Miss Eulis pada 1940, dan memberinya nama Eulis Zuraidah.
[sumber: tulisan Barlan Setiadijaya, Surianto Kartaatmadja, Remy Silado, foto: kyotoreviewsea.org]

Generasi masa kini mungkin sangat yakin bahwa Panon Hideung adalah lagu tradisional Pasundan. Namun Rusia sama sekali tidak terusik, Presiden Putin hanya bertanya pada SBY kok bisa?” saat disuguhi nyanyian pada kunjungan September tahun lalu.

Tak ada emosi atau tuntutan gaya kita. Ini kemungkinan besar karena lagu itu sejatinya terus hidup dan berkembang sebagai budaya Rusia. Rakyat menyanyikannya di berbagai kesempatan: di acara pernikahan; di kafe; di jalanan; saat sadar atau mabuk (pemabuk di sana lebih suka bernyanyi atau molor daripada membuat onar). Sungguh merakyat, bahkan lebih. Lagu itu juga diperformansi oleh Red Army Choir atau oleh para profesional di film, televisi, konser, atau di opera house di dalam mau pun di luar negeri. Barangkali perannya bagi mereka mirip dengan peran batik bagi kita.

Itulah kekuatan budaya yang hidup. Kekuatan budaya yang bukan sekedar kenangan masa kecil. Kekuatan yang akan membentengi dengan sendirinya jika ada yang mencoba mengklaim Ochi Chyornye sebagai lagu asli rakyat Pasundan.
Tidak hanya karena lagu itu hidup dan berkembang di Rusia, liriknya pun sudah ditelusuri: sebuah puisi gubahan Yevgeniy Pavlovich yang tercetak 17 Januari 1843, aransemennya sudah terpublikasi pada 1884. Bahkan kaum gypsy di seluruh Eropa sudah menganggap Ochi Chyornye sebagai lagu leluhur mereka. Bahwa liriknya adalah karya orang Ukraina dan aransemennya digubah Florian Hermann —orang Jerman, tidaklah menjadi soal.

Ada sebuah kenyataan yang terasa cukup pahit. Di internet sulit sekali mendapatkan vokal Panon Hideung. Di YouTube ada instrumental versi Tielman Brothers (1960), sebuah band indo yang sangat populer hingga ke Belanda. Ada juga Sandii —seorang diva J-pop, gadis Jepang— meremix beberapa versi Panon Hideung di album Pacifica dan Joget to the Beat (keduanya 1992). Sebagian syairnya diubah, putri Bandung menjadi jejaka Bandung (pada 1993 bersama Oma Irama menelurkan album Air Mata).

Meski sebenarnya bukan, namun kita tahu bahwa lagu itu pernah hidup sebagai lagu rakyat Pasundan. Panon Hideung dinyanyikan orang Sunda?
Dunia maya tidak pernah mendengar.
Padahal generasi masa kini tidak bisa lagi lepas dari dunia maya. Jangan heran jika generasi Indonesia mendatang sama sekali tidak mengenal lagu rakyatnya.

Coba anda google gamelan atau keroncong di imeem —semacam friendster untuk mendengarkan atau mempromosikan lagu-lagu— banyak anak-anak muda Malaysia yang menggemari gamelan dan kroncong, juga angklung. Ada beberapa gubahan atau aransemen baru yang menggugah: yakin akan jauh lebih hebat jika digubah anak Indonesia.
Tapi anak bangsa seakan mengolok-olok budayanya sendiri, semisal Keroncong Iblis Surakarta, sementara di imeem yang sama ada Keroncong Hari Raya kreasi Malaysia menyambut Lebaran…

Jadi, janganlah naik emosi kalau suatu saat Malaysia menganggap angklung, gamelan dan kroncong adalah budayanya. Jika apresiasi dan kreativitas mereka lebih besar dan serius, maka budaya kita memang lebih memiliki peluang untuk hidup dan berkembang di sana.
Jauh lebih baik daripada punah sama sekali, bukan?

Ayo semangat. Berkreasilah dengan harta karun yang kita miliki, yang tersebar dari ujung ke ujung Nusantara. Hidupkan dan kembangkan budaya dan tradisi yang penuh nilai. Jangan biarkan anak-anak kita nanti miskin di tengah-tengah kekayaan yang berlimpah ini…

baca juga:
Nasionalisme, Sukuisme, Kampung Halamanisme
Malaysia dan Inventarisasi Budaya

Published by

bataviase

Bataviase Nouvelles adalah kelanjutan koran pertama di Indonesia, yang terbit pertama kali 8 Agustus 1744. Diterbitkan kembali sejak 9 September 2006, sebagai koran bulanan, menyajikan informasi agenda pilihan dari pilihan warga Jakarta.

15 thoughts on “Kisah Panon Hideung”

  1. kata-kata semisal mempunyai artian menuduh lho mas,,, jadi saran aja kalau belum bisa menjelaskan kongkrit daripada masalah. jangan sekali kali menyebut identitas,, tolong saya di beri info yang lebih ilmiah. IBLIS (Indonesia Bersama Luluhur Indonesia Sukses)
    tekstual tidak menentukan kontekstual
    SELAMAT BERJUANG DEMI INDONESIA TERCINTA

    Like

  2. kalau cuma bisa ngomong baik mending pelajari dl apa yang mau di omongin.
    biar gak salah ngartiin.
    karna emang gak tau hal apa dan menyangkut siapa saja.
    anda tanpa sengaja telah menghasut semua orang yg membaca tulisan anda.
    tapi semua itu tidak akan trjadi kalau anda pahami dulu hal apa yang akan anda tampilkan ke publik. salam IBLIS

    Like

  3. sebaiknya dalam menyampaikan suatu hal anda lebih teliti lagi.
    apalagi manyangkut suatu hal yang berkaitan dengan nama. apapun itu.
    dan diluar masalah tadi, saya sangat mendukung gerakan2 yang seperti lakukan ini, terus maju kesenian indonesia..!!!
    TERIMAKASIH

    Like

  4. Salam Budaya,
    Tulisanmu punya maksud baik…namun pengambilan sample harus diteliti dulu…jangan sampai tulisan hanya bagus “just nice in the cover”
    pengambilan contoh nama IBLIS rolong teliti lagi(cek di GOOGLE tentang : keroncong iblis).Disana banyak tulisan dan berita tentang sepak terjang KERONCONG IBLIS dalam melestarikan budaya.MEMANG KAMi tidak pakai nama yang indah namun DANGKAL.IBLIS bukan sembarang IBLIS,tapi IBLIS-Indonesia Bersama Leluhur Indonesia Sukses.Banyak orang yang peduli dengan budaya tapi hanya lesan ataupun tulisan.KAMI TERJUN LANGSUNG berlatih dan berlatih keroncong,bahkan kami NGAMEN di warung-warung:WARUNG BARU dan HARJO BESTIK di solo.uang receh kami kumpilkan untuk bertahan hidup dan melestarikan keroncong.RASANYA SAKIT dech kalau langkah kami dihina olehmu LANGKAH KAMI beda dengan langkahmu,TOLONG dikaji ulang tulisan anda yang BUDIMAN.
    AKU,JAYA keroncong IBLIS SOLO.

    Like

  5. Occhi chornye occhi strastnye
    Occhi zhguchiye i prekrasniye
    Kak lyublyu ya vas kak boyus ya vas
    Znat’ uvidyel vas ya v nedobryii chas
    2.
    Okh nedarom vy glubini temnyei
    Vizhu traur v vas po dushe moei
    Vizhu plamya v vas ya pobednoye
    Sozhzheno na nem serdtse bednoye
    3.
    No ne grusten ya ne pechalen ya
    Uteshitelna mnye sudba moya
    Vsyo chto luchshyevo v zhizni bog dal nam
    V zhertvu otdal ya ognevym glazam!

    Like

  6. Buat Yang Memiliki Blog Ini:
    Mas pemikiran anda terlalu dangkal dalam menyikapi realita musik ..Anda berkata bahwa anak bangsa seakan mengolok-olok budayanya sendiri, semisal Keroncong Iblis Surakarta… Mengolok-olok Budaya yang seperti apa???tolong di beri penjelasan!!!! Jangan terlalu memiliki pemilkiran bahwa nama kelompok itu sudah mencerminkan ketidaksukaan terhadap genre musik tertentu…klo bisa mbok observasi obyek dulu baru ngomong gembar-gembor…!!!! Gde Agus Mega Saputra. Etnomusikologi ISI Surakarta..

    Like

    1. seakan disini maksudnya seolah-olah, seperti, dengan kata lain menyebutkan sesuatu yang sebenarnya masih perlu dibuktikan….
      Jd sebetulnya, maaf bukan sy membela yg memiliki blog ini (hehehe) tp klw mau jujur2an, itu cman bentuk opini saja, yang mana maksudnya kurang lebih bahwa di indonesia, nilai musik keroncong (bukan musikalitas, tetapi lebih ke pengertian keroncong nya, kurang mendapatkan apresiasi yang positif, hal ini dibuktikan dengan meskipun banyak kelompok keroncong bermunculan, tetapi ada sebuah kelompok yang mendeklarasikan nama kelompoknya dengan hal2 atau nama yang berbau “negatif”. dan klw kang agus mw lebih jujur lagi, sebetulnya anda lah yang telah mendangkalkan pemikiran2 yang ada. klw seandainya memang namanya IBLIS, bangga lah dengan nama itu (terlepas nama itu adalah SINGKATAN), karena nama itulah yang anda pilih untuk menunjukan identitas anda.
      Djoko Widaghdo(1994), memberikan pembedaan pengertian budaya dan kebudayaan,dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi yang berupa cipta, rasa .dan karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa,dan rasa tersebut
      (Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2206286-pengertian-budaya/#ixzz265n8b9SR)

      Jd sebetulnya budaya itu INDAH, maka untuk lebih memperindah budaya tersebut, berikanlah penyebutan atau penamaan “kelompok budaya” tersebut dengan nama yang indah pula.

      Tapi ada satu yg masih mengganjal di artikel ini, yaitu kalimat “Panon Hideung dinyanyikan orang Sunda?
      Dunia maya tidak pernah mendengar.
      Padahal generasi masa kini tidak bisa lagi lepas dari dunia maya”

      Benarkah??????

      Sendratasik Upi Bandung

      Like

  7. dan saya pun mendengar lagu ini di film Hostel dengan bahasa rusia atau slovakia mungkin, dan kedengeran samar-samar doang tapi saya yakin itu panon hideung, kedengarannya kayak lagu yang jaduuuuuul banget

    Like

  8. panon hieung adalah lagu rakyat rusia

    “Dark Eyes” (Russian: Очи чёрные, Ochi chyornye; English translation: Black Eyes; French translation: Les yeux noirs) is probably the most famous Russian romance.

    The lyrics of the song were written by the Ukrainian poet and writer Yevhen Hrebinka. The first publication of the poem was in Literaturnaya gazeta on 17 January 1843.

    The words were subsequently set to Florian Hermann’s Valse Hommage[1] (in an arrangement by S. Gerdel’) and published on 7 March 1884.

    Although often characterised as a Russian-Romani song, the words and music were written respectively by a Ukrainian poet Evheniy Grebenka ( Евге́ний Па́влович Гребёнка ) and a composer Florian German. Feodor Chaliapin popularised the song abroad in a version amended by himself.

    Like

Leave a comment